Komunikasi Kesehatan Mental Di Kalangan Mahasiswa: Menghapus Stigma Melalui Media

 Sabrina Septiani dan Suci Rahmawati (Mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Pamulang)

redaksi redaksi

 Carasehat.net | Kesehatan mental merupakan salah satu aspek fundamental dalam kehidupan mahasiswa yang sering kali terabaikan dalam diskursus pendidikan tinggi. Dalam konteks Indonesia, persoalan kesehatan mental di kalangan mahasiswa telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, ditandai dengan meningkatnya prevalensi gangguan kecemasan dan depresi. Namun demikian, respons institusional dan sosial terhadap permasalahan ini masih terhambat oleh stigma yang mengakar kuat dalam masyarakat.

Stigma sosial terhadap gangguan mental menciptakan hambatan signifikan bagi mahasiswa untuk mengakses layanan kesehatan mental yang mereka butuhkan. Dalam era digital ini, media massa dan media sosial memiliki potensi strategis sebagai instrumen komunikasi untuk mengubah persepsi publik dan menghapus stigma tersebut. Artikel ini menganalisis peran media dalam komunikasi kesehatan mental mahasiswa serta strategi-strategi efektif yang dapat diimplementasikan untuk menciptakan lingkungan akademis yang lebih suportif terhadap kesejahteraan mental.

Pendahuluan

Kesehatan mental mahasiswa telah menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir. Tekanan akademik, tuntutan sosial, ketidakpastian masa depan, hingga tantangan finansial menjadi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya kasus gangguan mental di kalangan mahasiswa. Menurut survei Kementerian Kesehatan RI, sekitar 15-20% mahasiswa Indonesia mengalami gejala depresi dan kecemasan.

Namun, permasalahan kesehatan mental mahasiswa tidak hanya terletak pada prevalensinya yang tinggi, tetapi juga pada stigma sosial yang masih kuat melekat di masyarakat. Stigma ini membuat banyak mahasiswa enggan mencari bantuan profesional karena takut dianggap lemah, gila, atau tidak kompeten. Di sinilah peran media menjadi sangat krusial sebagai alat komunikasi untuk menghapus stigma dan mendorong mahasiswa untuk lebih terbuka membicarakan kesehatan mental mereka.

Stigma Kesehatan Mental Di Kalangan Mahasiswa

Stigma terhadap kesehatan mental di Indonesia masih sangat kuat, terutama di lingkungan akademis. Mahasiswa yang mengalami masalah kesehatan mental sering kali menyalahkan diri sendiri dan merasa malu. Mereka menganggap kondisi mereka sebagai kelemahan pribadi, bukan sebagai masalah kesehatan yang memerlukan penanganan medis. Masyarakat masih sering memberikan label negatif kepada individu dengan gangguan mental, seperti “gila”, “lemah”, atau “cari perhatian”. Hal ini membuat mahasiswa takut terbuka tentang kondisi mereka kepada teman, keluarga, atau dosen.

Selain itu, minimnya fasilitas konseling yang memadai di kampus dan kurangnya kebijakan yang mendukung kesehatan mental mahasiswa menunjukkan bahwa stigma juga terjadi di level institusional. Kondisi ini menciptakan siklus negatif di mana mahasiswa yang membutuhkan bantuan justru semakin terisolasi dan tidak mendapatkan dukungan yang seharusnya mereka terima.

Peran Media Dalam Komunikasi Kesehatan Mental

Media, baik media massa tradisional maupun media sosial, memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik. Dalam konteks kesehatan mental mahasiswa, media dapat berperan sebagai edukator dan penyebar informasi yang akurat tentang kesehatan mental, gejala-gejalanya, dan cara penanganannya. Konten edukatif seperti artikel, infografis, video, dan podcast dapat membantu mahasiswa memahami bahwa masalah kesehatan mental adalah kondisi medis yang dapat diobati, bukan aib yang harus disembunyikan.

Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube telah menjadi ruang di mana konten kesehatan mental dibagikan secara luas. Akun-akun seperti @intothelight.id, @bicarakankesehatanmental, dan berbagai psikolog yang aktif di media sosial telah membantu menormalkan percakapan tentang kesehatan mental. Media juga dapat mengubah narasi negatif tentang kesehatan mental menjadi narasi yang lebih positif dan penuh harapan. Cerita-cerita tentang mahasiswa yang berhasil bangkit dari depresi atau kecemasan dapat memberikan inspirasi dan harapan bagi mereka yang sedang berjuang.

Strategi Komunikasi Efektif Melalui Media

Untuk memaksimalkan peran media dalam menghapus stigma kesehatan mental, diperlukan strategi komunikasi yang efektif. Pertama, gunakan bahasa yang tepat dan tidak menstigmatisasi. Hindari penggunaan kata-kata seperti “gila”, “lemah”, atau “stres doang”. Gunakan terminologi yang lebih netral dan medis seperti “mengalami gangguan kecemasan” atau “sedang dalam perawatan kesehatan mental”.

Kedua, libatkan tokoh publik dan influencer. Ketika public figure atau influencer yang diikuti oleh mahasiswa berbicara tentang pengalaman pribadi mereka dengan kesehatan mental, hal ini dapat memberikan dampak besar dalam menormalkan percakapan. Beberapa selebriti Indonesia seperti Maudy Ayunda dan Boy William telah terbuka tentang kesehatan mental, yang memberikan dampak positif bagi followers mereka.

Ketiga, ciptakan konten yang relatable dan mudah diakses. Konten harus dibuat dalam format yang mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan mahasiswa. Video pendek, meme edukatif, dan infografis yang menarik lebih efektif menjangkau mahasiswa dibandingkan artikel panjang yang terlalu teknis. Keempat, bangun komunitas dukungan online yang aman di mana mahasiswa dapat berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi. Moderasi yang baik dan aturan komunitas yang jelas sangat penting untuk menjaga keamanan dan kenyamanan anggota.

Kelima, pastikan kolaborasi dengan profesional kesehatan mental sehingga informasi yang disebarkan melalui media akurat dan berdasarkan praktik berbasis bukti. Kolaborasi dengan psikolog, psikiater, dan konselor akan meningkatkan kredibilitas konten dan mencegah penyebaran misinformasi yang dapat membahayakan.

Tantangan Dan Solusi

Meskipun media memiliki potensi besar, terdapat beberapa tantangan dalam komunikasi kesehatan mental. Tantangan pertama adalah mis-informasi dan pseudo-science yang tersebar luas di internet. Solusinya adalah edukasi literasi digital dan fact-checking sebelum membagikan informasi. Mahasiswa perlu dilatih untuk membedakan informasi yang valid dari sumber terpercaya dengan informasi palsu yang dapat membahayakan.

Tantangan kedua adalah performative activism di mana banyak orang hanya posting di media sosial tanpa aksi nyata. Solusinya adalah fokus pada tindakan konkret, bukan hanya sekedar posting. Dorong mahasiswa untuk benar-benar mencari bantuan profesional ketika membutuhkan, bukan hanya berbagi konten di media sosial. Tantangan ketiga adalah cyberbullying dan hate speech yang masih sering terjadi di ruang digital. Solusinya adalah moderasi konten yang ketat dan edukasi tentang empati digital kepada semua pengguna media sosial.

Kesimpulan

Komunikasi kesehatan mental melalui media merupakan strategi yang efektif untuk menghapus stigma di kalangan mahasiswa. Dengan menyebarkan informasi yang akurat, menciptakan narasi positif, memfasilitasi diskusi terbuka, dan mendorong perubahan kebijakan, media dapat menjadi katalis perubahan sosial yang signifikan. Namun, penting untuk diingat bahwa media hanyalah salah satu bagian dari solusi. Diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak kampus, keluarga, pemerintah, dan mahasiswa itu sendiri untuk menciptakan lingkungan yang supportif bagi kesehatan mental mahasiswa.

Mari kita mulai dari diri sendiri dengan lebih terbuka membicarakan kesehatan mental, mendengarkan tanpa menghakimi, dan mendukung teman-teman kita yang mungkin sedang berjuang. Karena kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dan tidak ada yang salah dengan mencari bantuan. Dengan komunikasi yang tepat melalui media, kita dapat bersama-sama menciptakan generasi mahasiswa yang lebih sehat secara mental dan bebas dari stigma.

Referensi

Corrigan, P. W., & Watson, A. C. (2022). Understanding the impact of stigma on people with mental illness. World Psychiatry, 21(1), 96-97.

Kementerian Kesehatan RI. (2024). Survei Kesehatan Mental Mahasiswa Indonesia.

Naslund, J. A., et al. (2023). Social Media and Mental Health: Benefits, Risks, and Opportunities for Research and Practice. Journal of Technology in Behavioral Science.

World Health Organization. (2023). Mental Health in University Students.

 

 

 

 

Share This Article