Kesehatan Mental Remaja di Indonesia: Tantangan di Balik Senyum Ceria

Nurul Ezzah (Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor)

redaksi redaksi

Carasehat.net | – Kesehatan mental pada remaja usia 20-an di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, di mana gejala depresi dan kecemasan ditemukan cukup tinggi dan banyak dialami oleh kelompok usia ini, namun kesadaran serta akses layanan untuk penanganannya masih terbatas. Data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 66,4% responden muda mengalami gejala depresi dan 73,3% mengalami kecemasan, terutama dikaitkan dengan penggunaan media sosial dan tekanan kehidupan sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan pada 285 orang dewasa muda berusia 18–25 tahun di wilayah metropolitan Indonesia (termasuk Jabodetabek) menemukan bahwa depresi dan kecemasan menjadi masalah mental yang sangat umum di kalangan generasi muda. Faktor seperti status pekerjaan dan durasi penggunaan media sosial terbukti berkontribusi signifikan terhadap kondisi ini.

Data Terbaru Gambarkan Kondisi yang Mengkhawatirkan

Menurut hasil penelitian akademik, prevalensi depresi dan kecemasan di kalangan dewasa muda cukup tinggi, bahkan jauh lebih besar dibanding angka umum populasi. Studi di beberapa kota metropolitan menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden usia 18–25 tahun melaporkan pengalaman depresi (66,4%) dan kecemasan (73,3%) dalam periode tertentu pemeriksaan.

Selain itu, data dari Kementerian Kesehatan dan penelitian lain memperlihatkan bahwa gangguan mental termasuk salah satu isu kesehatan yang paling sering muncul di kelompok usia di atas 15 tahun, meskipun angka diagnosis resmi relatif rendah karena stigma dan rendahnya kesadaran untuk mencari bantuan profesional.

Penyebab Tekanan Mental Usia 20-an

Dokter psikolog klinis dan akademisi di Jakarta, dr. Fitri Maharani, Sp.KJ, mengungkapkan bahwa tekanan untuk tampil “sempurna” di media sosial, kompetisi akademik, serta ketidakpastian masa depan karier menjadi faktor utama tekanan mental di kalangan usia 20-an.

“Generasi muda sering membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain di media sosial. Ketika ekspektasi itu tak terpenuhi, hal itu dapat memicu perasaan tidak berharga, kecemasan berlebih, dan bahkan depresi,” ujar dr. Fitri di sela seminar kesehatan mental di Jakarta, Selasa (23/12).

Fitri juga menambahkan bahwa tekanan sosial, kurangnya dukungan emosional, dan stigma terhadap masalah kesehatan mental membuat banyak dari mereka enggan mencari pertolongan profesional.

Stigma dan Akses Layanan yang Masih Minim

Meskipun masalah ini serius, hanya sebagian kecil dari remaja usia 20-an yang mendapatkan dukungan atau menjalani terapi psikologis atau psikiatri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rendahnya jumlah konsultasi disebabkan oleh stigma sosial, kebanyakan merasa bahwa gangguan mental bukan masalah kesehatan sungguhan, serta kurangnya informasi tentang layanan kesehatan mental yang tersedia.

Hal ini diperparah oleh kurangnya infrastruktur layanan kesehatan mental yang memadai di banyak wilayah Indonesia, terutama di luar kota besar. Hanya tersedia sedikit klinik atau pusat konseling yang dapat diakses tanpa biaya tinggi, sehingga beban bantuan sering kali harus ditanggung oleh keluarga sendiri.

Upaya dan Harapan untuk Perubahan

Pemerhati kesehatan mental dan beberapa lembaga masyarakat kini mulai mendorong lebih banyak program dukungan untuk generasi muda, termasuk layanan konseling kampus, edukasi kesehatan mental, serta kampanye untuk mengurangi stigma. Beberapa universitas besar di Indonesia kini sudah membuka layanan konseling psikologis gratis bagi mahasiswanya sebagai bentuk respons terhadap tingginya permintaan.

“Masalah kesehatan mental bukan sesuatu yang bisa diabaikan,” tegas Rina Suryani, Ketua Asosiasi Psikologi Indonesia. “Kita perlu pendekatan terpadu antara pemerintah, sektor pendidikan, dan masyarakat luas untuk memastikan generasi muda memperoleh dukungan yang mereka butuhkan.”

Kesimpulan

Kesehatan mental di kalangan remaja usia 20-an di Indonesia mencerminkan masalah yang kompleks, di mana tekanan sosial, penggunaan media sosial, serta kurangnya dukungan profesional berkontribusi terhadap tingginya angka depresi dan kecemasan. Data statistik dan pendapat para ahli menunjukkan perlunya perubahan sistemik untuk memastikan generasi muda mendapatkan akses terhadap dukungan kesehatan mental yang layak dan tanpa stigma.[]

Share This Article